Ravi
Kawan saya sekaligus seorang junkies kawakan Jakarta yang sedang mengambil studi S1nya di Jogja. Tak ada yang ia dapat dalam perantauan studinya selain hasil studi yang pas-pasan. Namun saya paham, kemampuan daya pikir bagi orang yang hari-harinya menyuntikan ekstasi di pembuluh vena dan bertemu kurir sabu di sebuah pom bensin memang butuh penyesuaian dibanding kami-kami yang tak pernah menyentuh barang haram itu. Barang haram itu juga membuatnya mengalami penurunan daya ingat (8 kali kartu ATM hilang dalam sebulan dan bungkus rokok yang sering ia tinggal saat pulang kongkow, lengkap dengan isinya).
Terlepas dari gangguan di otaknya, psikotropika yang ia konsumsi rutin agaknya membuahkan 1 hal dalam dirinya yang tak dimiliki orang-orang biasa: maskulinitasnya yang menggebu-gebu. Sebuah bias karakter yang dianggap melekat pada kebanyakan kaum pria, itu lah apa yang dipunyai Ravi. Tak perlu lagi meragukan soal kejantanan dan keberanian dalam tindak-tanduknya. Ditambah dengan badannya yang macho, pemilihan outfit berkelas khas play boy blok M, hingga perangainya yang memancarkan kharisma menjadi paket lengkap atas maskulinitas pada dirinya.
Namun, terdapat pemandangan berbeda di Tugu Jogja 8 Maret kemarin. Tugu Jogja menjadi lokasi untuk merayakan peringatan hari perempuan sedunia, perayaan atas perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dalam kedudukan dan peran dengan kaum laki-laki. Perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi yang selama ini menjadi momok bagi kaum perempuan. Saya dan beberapa kawan hadir di sana, termasuk Ravi. Saya melihat sosok yang berbeda dalam diri Ravi saat ia hadir di sana. Dengan berbekal kakinya yang menyerupai abjad "X" (yang tentu akibat morfologis dari penggunaan narkoba), ia berjalan tertatih-tatih seraya lantang menentang sistem patriarki. Ia mengubur segala bentuk sifat maskulinnya yang selama ini ia agung-agungkan. Kali ini, tak ada lagi perbedaan karakter baginya. Perempuan dan laki-laki ialah setara, di mana pun, apapun, dan kapanpun.