Paruhnya Paruh Waktu
Di balik tirai, bulan Ramadhan, sepi-sepi malu mereka di dalamnya. Aku tanpa ragu mengikutinya. Indahnya Burjo Palm Kuning di siang hari.
Kira-kira demikian, hari-hari yang dirindukan saat meninggalkannya. Mungkin tak hanya itu, mulainya lelap di waktu fajar dan terbangun pukul tiga belas, barangkali lumrah, yang saat ini terasa mahal.
Atau ditengah kebuntuan atas tuntutan kewajiban, ketenangan menghampiri melalui secangkir kopi dan beberapa lintingan terhisap di sudut-sudut Sleman. Ia menyadarkan bahwa ada harga yang harus dibayar untuk singkatnya ketenangan.
Sloki-sloki yang bergantian berputar di jalan Manyar, ialah tanda bahwa pikir dan raga perlu berhenti, sejenak. Gilirnya tawa berhamburan untuk menunggu kembali datangnya kenestapaan.
Utara, Kaliurang dan Maguwoharjo, bertumpuk buku tersusun rapi. Di dalamnya menyimpan siasat-siasat pikir. Ia jauh, tetapi aku datang. Sebab butuh atau sekadar hampa.
Alam bawah sadar terus mengikuti alur jemu itu. Namun, ia dipaksa henti. Barangkali jemu itu kini dirindukan. Akan datang masanya, aku dan mereka dipertautkan lagi.