Mulutmu Harimaumu

Public Speeches: 1 dari 198 Metode Aksi Nirkekerasan

Muhammad Faiq Haidar
3 min readMar 27, 2021

Jika tentara dibekali senapan dalam berperang, maka orator menggunakan mulutnya sebagai tameng dan senjata. Amunisi berupa argumentasi, agitasi, serta provokasi, mampu melumpuhkan khalayak ramai. Ledakan orasi dari sang orator akan menghasilkan kobaran semangat bagi para pendengarnya. Adolf Hitler, Franklin D. Roosevelt, Bung Karno, bahkan Bung Tomo, adalah representasi kecil dari orang-orang yang diberkati kemampuan untuk memengaruhi massa melalui orasi dari mulutnya. Teringat bagaimana Bung Tomo membakar rasa semangat rakyat Surabaya melalui orasinya yang berapi-api untuk mengajak arek-arek surabaya dalam melawan pasukan sekutu pada 10 November dengan tiga kata magisnya “Merdeka atau Mati”.

Mulut merupakan pangkal dari sejarah. Dari mulut, peradaban dan pergerakan bermunculan. Mulut merupakan suatu metode aksi dan pergerakan yang efektif untuk memengaruhi pikiran, menanamkan ideologi, dan melakukan persuasi serta provokasi massa. Suatu paham, ajaran, agama, organisasi atau intitusi apapun bisa berkembang dan menyebar luas akibat dari kalimat-kalimat yang terucap dari suatu tokoh. Sebagai contoh, agama Islam tak akan sebesar ini tanpa dakwah dari Rasul beserta sahabat dan ulama-ulama yang membantu menyebarkan ajaran Islam. Tanpa orasinya yang “gila” itu, Hitler tak akan menjadi pemimpin yang dipuja rakyatnya, serta menjadikan Jerman sebagai negara adidaya pada masa itu. Bung Karno muda diidolakan oleh bangsa Indonesia karena “kebengisannya” ketika berada di podium. Begitulah magisnya peran dari organ tubuh yang memiliki nama latin oris.

Mulut memanifestasikan dirinya sebagai simbol perlawanan melalui orasi. Orasi berasal dari kata oral yang diartikan sebagai mulut. Orasi hadir sebagai penyambung lidah massa yang ditujukan kepada penguasa. Bermacam tuntutan, protes, serta ketidakpuasan disatupadukan dan diringkas ke dalam satu bentuk metode yang dinamakan orasi. Teriakan serta hasutan orator di ruang publik memberi dampak bersatunya kekuatan massa menuju tujuan yang dicita-citakan. Persetan didengar oleh istana, orasi memberi arti sebagai simbol kumulasi kemuakkan dan simbol keacuhan penguasa. Orasi memikul beban sebagai ujung tombak pergerakan menuju perubahan. Mulut menjadi sarana aksi melalui orasi lalu menghasilkan revolusi.

Mulut memberikan andil yang besar pada masa pergerakan dan revolusi bangsa Indonesia. Mulut dijadikan sarana perlawanan serta alat pemersatu bangsa oleh para pejuang untuk membebaskan negeri ini dari penjajah. Tanpa adanya pidato Sumpah Pemuda, tak akan lahir Proklamasi Kemerdekan yang menandakan lahirnya bangsa Indonesia. Pidato Sumpah Pemuda berperan penting dalam mempersatukan pemuda di Indonesia yang masih menjunjung tinggi sifat kedaerahannya. Tak lupa dengan pidato-pidato dari tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, dalam membius massa untuk bergerak dan melawan yang merupakan pangkal dari keberhasilan bangsa merebut kemerdekaan.

Mulut juga erat dengan perjuangan mahasiswa dalam kancah pergerakan bangsa. Bagaimana mahasiswa bergerak dengan agitasi, satire, serta propaganda nan kritis di ruang jalanan dalam menyuarakan aspirasinya yang ditujukan kepada pemangku kekuasaan untuk merepresentasikan rakyat yang tak memiliki ruang dalam mencurahkan aspirasinya. Mulut merupakan ujung tombak mahasiswa dalam melakukan aksi. Dengan hanya mengeluarkan dua kata “Hidup Mahasiswa!”, mampu merangsang gairah mahasiswa maupun massa yang mendengar untuk berjuang dan bergerak menuju cita-cita perlawanan dan pergerakan.

Memang tak bisa dipungkiri, mulut dalam konteks kemampuan berbicara sebagai simbol pergerakan dan perlawanan, merupakan elemen yang vital dan primer bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara yang menobatkan dirinya sebagai negara yang demokratis seharusnya menjaga mulut-mulut rakyatnya agar terus menembakkan pelurunya menuju istana, bukan membungkamnya lalu menempatkannya di penjara. Teringat sebuah pepatah, mulutmu harimaumu. Ya, sejatinya kita harus memanfaatkan mulut layaknya seekor harimau yang mengaum dan menerkam. Manusia yang kritis, logis, independen, dapat membedakan hal yang benar dan salah, serta peka terhadap ketidakadilan, sudah sepatutnya menggunakan mulutnya untuk mengaum dan menerkam terhadap penindasan, ketidakadilan, serta kesewenang-wenangan yang dilakukakan penguasa. Beda seperti anjing, yang menggunakan mulutnya untuk menjilat majikannya dan menggonggong kepada orang biasa.

--

--