Menerka Petaka UU Cipta Kerja: Cumbu Mesra Pengusaha dan Penguasa

Muhammad Faiq Haidar
3 min readMar 26, 2023

--

Dipublikasikan dalam unggahan infografis pengawalan isu Perppu Cipta Kerja oleh DEMA Justicia FH UGM

Ilustrasi aparat memergoki perselingkuhan oleh Tribun Lampung. Kini, saatnya warga sipil membuka skandal perselingkuhan penguasa dengan pengusaha!

Lepas UU Cipta Kerja diputus inkonstitusional bersayarat oleh MK akibat mengabaikan partisipasi publik dalam proses pembuatannya pada 2020 lalu, pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja melalui wacana pertumbuhan investasi yang telah disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada 21 Maret lalu. Berdasarkan temuan berbagai akademisi dan kelompok masyarakat sipil, UU Cipta Kerja dianggap merugikan kelompok buruh dan sipil, mengancam keberlangsungan lingkungan hidup, serta menguntungkan elite kapital yang berkepentingan di dalamnya.

Menyoal keadaan itu, tulisan ini hendak menekankan bekerjanya negara pada bentuk pengorganisasian kekuasaan ekonomi-politik. Bekerjanya institusi tersebut tidaklah berada dalam ruang hampa. Robinson dan Hadiz menyajikan tesis bagaimana negara beroperasi dalam suatu ekosistem yang didominasi oleh hubungan kekuasaan oligarkis, yaitu pengorganisasi kekuasaan yang ditandai oleh fusi antara kekuatan ekonomi dan politik dalam menjalankan proses akumulasi kekayaan, otoritas dan upaya pertahanan kolektifnya (Robison dan Hadiz 2004).

Fusi kekuatan ekonomi-politik dalam relasi kuasa oligarkis hadir akibat corak akumulasi kapital yang sangat bergantung pada akses dan kontrol terhadap institusi publik serta proteksi dari negara. Oligarki berkelindan dengan perkembangan kapitalisme yang menempatkan kekuasaan politik sebagai instrumen esensial untuk melangsungkan akumulasi kapital. Gejala tersebut berlangsung melalui aktor dan perangkat negara yang menyediakan akses bagi elite kapital untuk mempertahankan kekayaan materiilnya dengan berbagai cara. Dalam konteks negara hukum, bekerjanya oligarki ditandai dengan penggunaan instrumentasi perundang-undangan. Proses melegitimasi kuasa politik ekonomi dengan menangguk keuntungan dari masifnya eksploitasi sumber daya alam dan manusia dan fleksibilitas kebijakan ramah pasar, memperlihatkan karakter dominan yang melengkapi situasi tersebut (Wiratraman 2022).

Berangkat dari penjelasan sebelumnya, hadirnya Perppu Cipta Kerja menunjukkan bagaimana instrumen undang-undang digunakan sebagai proses pertukaran kepentingan antara kekuasaan politik dengan pemilik modal. Sebagaimana paparan Sol Picciotto, pembentukan sebuah undang-undang tidaklah lepas dari kepentingan pemilik modal yang sangat mengutamakan stabilitas pasar. Melalui praktik regulatory competition, Perppu Cipta Kerja hadir sebagai jalan menang berkompetisi dengan berbagai negara untuk menarik para para pebisnis dan investor dengan mewujudkan kondisi-kondisi paling nyaman bagi pasar (Piciotto 2011). Senada dengan Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa terbitnya perppu merupakan jalan pintas untuk memberikan kepastian dan menyediakan perangkat hukum bagi para investor.

Di tengah menguatnya praktik neoliberalisme, kepentingan pemodal, investasi, dan perdagangan bebas menjadi lebih dominan mempengaruhi orientasi kebijakan pemimpin negara yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi. Namun, wacana pertumbuhan ekonomi melalui UU Cipta Kerja, menempatkan HAM dan kesejahteraan sosial dalam keadaan yang mencekam. Melalui “Omnibus Law dan HAM”, Herlambang menjumpai muatan undang-undang yang berpotensi tinggi menyingkirkan hak asasi manusia dan mengorbankan perlindungan bagi kelompok buruh sebagai penopang pertumbuhan ekonomi. Melalui market friendly human rights paradigm, HAM hanya dilihat berdasarkan kepentingannya untuk ada dan tak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ramah investasi tersebut. Hak asasi dibatasi, diseleksi, dan atau dibonsai sejauh tak menabrak prioritas ekonomi (Wiratraman 2020).

Beriringan dengan mandeknya kanal politik progresif akibat relasi kekuasaan oligarkis (Mudhoffir 2021), DPR yang diharapkan dapat menjadi kanal penyaluran aspirasi warga sipil tidak berdaya dihadapan lembaga eksekutif saat menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Alih-alih mengindahkan akumulasi penolakkan publik terhadap muatan UU Cipta Kerja sejak pertama kali muncul dalam diskursus publik, DPR justru mengesahkan perppu tersebut menjadi undang-undang. Keadaan tersebut mempertontonkan adegan mesra antara pemerintah, DPR, dan pemilik modal dalam memuaskan hasrat kepentingan kapitalnya. Oligarki menyetir panggung politik menjadi pentas untuk meraup kepentingan privatnya. Melalui Perppu Cipta Kerja, hukum menjadi alat untuk melegitimasi penindasan hak sipil, ekonomi, sosial, politik, hingga lingkungan hidup, dan memuluskan nafsu kepentingan bagi para elite kapital.

Referensi

Hadiz, Vedi R dan Robinson, R. (2004). Reorganizing Power in Indonesia: The Political Oligarchy in an Age of Market. London: Routledge.

Wiratraman, H.P.; Anggraini, L; Istiqomah, M. 2022. “Negara Hukum dalam Cengkeraman Oligarki”, dalam Outlook LP3ES, Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil. Jakarta: LP3ES, pp. 73–89

Wiratraman, H.P. “Omnibus Law dan HAM”, Harian Jawa Pos, 10 Maret 2020.

Piciotto, Sol. 2011. Regulating Global Corporate Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press.

--

--

No responses yet