ADP: Seksualitas Dewa Sembilan Belas
Tulisan ini saya buat bertepatan dengan hari ulang tahun Anda ke-50. Tetapi saya belum tahu pasti kapan kiranya tulisan ini akan selesai dan dirilis. Boleh jadi di hari yang sama, besok, lusa, atau bahkan menjadi sampah — menemani tulisan-tulisan lain yang tak kunjung dirampungkan. Rilisan ini dikehendaki oleh rasa kagum dan menjadi bentuk kekaguman saya terhadap karya musik anda. Namun, perwujudannya tak harus melalui ekspresi menjilat, pujian, atau laku agung. Ia dapat muncul melalui umpatan, ketidaksepahaman, atau sekadar rasa ingin tahu dan ketidaktahuan terhadapnya.
Saya mencoba adil untuk dapat mengetengahkan perbincangan pada lagu-lagu ciptaan anda, utamanya lirik yang terkandung. Musikalitas yang mengandung anasir atas elemen yang bisa didengar tak bisa saya kuliti. Sebab, saya tak paham-paham amat soal instrumen, nada, dan unsur bunyi lainnya. Oleh karenanya, lirik dan bahasa ialah yang coba saya tafsirkan melalui tulisan ini. Anda mutlak berhak untuk tidak sepakat, atau barangkali acuh atas keberadaan ‘suara sumbang’ melalui tulisan ini. Satu yang pasti, saya menaruh rasa hormat terhadap anda melaluinya.
Untuk memulainya, saya mencoba berangkat dari apa yang saya pikir saya dan anda sama-sama sukai: seks. Setidaknya, itu yang saya tangkap melalui “Sedang Ingin Bercinta”. Walaupun saya masih lajang, tetapi saya paham mengapa seks begitu menyenangkan dan begitu menyenangkannya anda menggambarkan melalui jantung yang berdetak kencang seperti genderang mau perang. Lagu yang salah satunya berperan sebagai kanal penyaluran hasrat dan ekspresi, dan melalui “Sedang Ingin Bercinta” terekam ekspresi dan hasrat biologis anda. Anda memusatkan perhatian anda kepada reflek dan lakon biologis manusia yang mengimpuls dan terimpuls atas keberadaan sosok lain.
Barangkali interpretasi saya salah, namun “Restoe Bumi” —rilis satu dasawarsa lebih awal — juga menyajikan hal serupa. Entah siapa yang lebih dominan antara anda dan rekan bassist anda sejak SMP, Alm. Erwin, dalam peramuan syair di dalamnya. Butuh waktu untuk menafsirkan, namun apa yang dimaksud ‘Mengetuk hasrat ‘tuk menjamah Surgamu’, apalagi kalau bukan ungkapan ajakan bersenggama kepada wanita, pikir saya. Personifikasi anda atas mutiara yang berkilau dan menghiasi muka bumi menggambarkan keindahan wujud seorang perempuan. Penggambaran tersebut ditutup dengan hasrat untuk menjilati warna atas imaji sebelumnya yang anda susun. Penangkapan saya atas ungkapan ‘jilat-menjilat’ ialah sebuah penangkapan secara literal: keinginan menjilati perempuan yang anda wujudkan sebagai sosok yang indah.
Terlepas daripada keabsahan tafsir itu, namun saya menemukan suasana yang berbeda atas ungkapan hasrat seksual antara kedua lagu tersebut. Melalui ‘Restoe Bumi’, penyampaian hasrat dikemas dengan keindahan. Keindahan bukan hanya soal frasa, tetapi bagaimana anda membangun imajinasi dengan melibatkan unsur yang sangat beragam. Alih-alih sekadar menggambarkan suasana tubuh manusia, anda berusaha mengajak anasir-anasir lain di muka bumi untuk turut serta menemani perjalanan anda dalam mencapai hasrat seksual itu. Anda berusaha memusatkan persoalan ekologi dalam sebuah relasi antar sesama manusia. Bumi, sebagai ruang yang menemani anda sejak lahir, tumbuh dewasa, saling mengenal dengan makhluk lain, hingga mendukung hasrat biologis anda, anda libatkan dan menjadi pemberi restu dalam relasi biologis yang anda bangun bersama dengan makhluk bumi lainnya. Dan di akhir, relasi itu ditujukan untuk mencapai kesenangan bersama dan melepas hiruk-pikuk yang ada di dunia atau apapun yang anda maksud dengan “Sucikan dari debu dunia”. Oleh karenanya, saya berasumsi bahwa hasrat kesenangan biologis anda diniatkan untuk meleburkan diri pada kebaikan dunia.
Sepuluh tahun berselang, dalam upaya menggambarkan libdo anda, makhluk-makhluk lain anda pinggirkan dan beralih menjadi antroposentris. Anda menutup rapat ruang imaji atas ekspresi yang anda sampaikan dengan hanya mengetengahkan objek pada diri anda sendiri. Bahkan secara tersurat anda tuangkan hasrat ingin bercinta dalam judul yang merangkum syair-syair anda yang sempit itu. Sempit itu saya maksudkan bahwa anda hanya menggambarkan reflek biologis anda: Darah yang mengalir lebih cepat dan jantung yang berdegup kencang. Anda lupakan keadaan di luar daripada diri anda dalam ekspresi dan pengemesaran ekspresi hasrat anda. Saya melihat suatu keputusasaan dalam diri anda. Saya berasumsi di benak anda berpikir bahwa “Tanpa tendeng aling-aling, sepakat tidak sepakat, saya harus mengekspresikan hasrat seksual anda sekarang juga”, seakan kebutuhan biologis anda harus dipenuhi dengan segera.
Tak ada yang salah dari sebuah ekspresi, pun juga pada syair-syair anda. Namun, saya merasakan keindahan dan kebijaksanaan yang berbeda melalui dua ekspresi anda. Melalui “Restoe Bumi”, saya merasakan suatu keteraturan alur, kesabaran untuk menyalurkan hasrat, dan rasa empati yang lebih untuk melihat keadaan di luar. Sebaliknya, ketergesa-gesaan dan egoisme dalam mengekspresikan libido saya temukan dalam lagu yang secara eksplisit anda cantumkan pada judul. Saya paham bahwa tiap-tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menampung kebutuhan seksual agaknya sulit untuk ditampung sehingga saya tak berhak mengalangi bagaimana anda menyalurkan dan mengekspresikan hasrat itu. Barangkali, semakin beranjaknya usia, anda merasa bahwa orientasi anda tak muluk-muluk. Sehingga mengekspreksikan secara jujur dan apanya lebih diutamakan, alih-alih merumuskan kemajemukan dan keindahan dalam syair anda. Namun, lirik tetaplah lirik. Apa yang saya pahami ialah yang saya dengar. Dan apa yang saya pahami belum tentu sepaham dengan apa yang anda pahami.
Ahmad Dhani A’lam Bishawab.